It's Reality


"Ketika berjalan menikmati. Dipersimpangan jalan terhenti. Melihat pria tua melangkah dengan mata hati. Kanan kiri Ia dimaki. Sore yang memilin hati."

Suatu hari, ketika aku ingin pulang dari rumah temanku. Segeralah aku meraih ponsel dan mencari nomor “PAPAH”. Tanpa salam aku langsung berkata, “Papah jemput dong!”, ujarku manja. “Yah, Papah lagi nganter mamah nih. Kamu pulang sendiri ya?” kata papah. “Yah. Yauda deh!” jawabku bete.

Tersirat dipikiranku udah lama nggak melakukan ritual “Berjalan jauh”. Maksudnya? Ya, maksudnya berjalan dari titik mana hingga pemberhentiannya di rumah dalam keadaan berjalan kaki. Tujuannya? Pertama. Tentu untuk kesehatan. Seperti yang dicanangkan di iklan 1000 langkah perhari mencegah osteoporosis, walau masi mudah apa salahnya mencegah dari sekarang. Ya kan? Kedua. Melihat keadaan sekitar. Dengan kebanyakan rutinitas yang dikerjakan setiap hari, kadang melupakan keadaan sekitar kita, bisa saja kita mendapatkan informasi dengan kita berjalan kaki, kita jadi tau nama jalan, letak sebuah gedung / ruko, jalan tikus, dan lain-lain. Dan yang terakhir dapat mencegah insomnia, entah penelitian dari mana aku lupa, tapi kalo dicoba nggak ada ruginya juga.

Sore itu ku tempuhi daerah Tebet untuk mencapai rumahku, Kalibata, tentu terbilang cukup dekat. Dipersimpangan jalan cerita itu bermula, tepat di depan taman hijau, di depanku ada sesosok Bapak tua, kalo ditebak-tebak usianya sekitar 50 tahun. Dia mengalungi bungkusan-bungkusan kerupuk ikan tepat di tangan sebelah kirinya dan memegang tongkat di tangan sebelah kanannya. Ia berjalan perlahan, tongkat mengacu kiri dan kanan. Melihatnya timbul rasa kasihan. Ketika dipersimpangan Ia berbelok ke kanan. Di belakangnya diikuti CRV hitam berbodi mulus. Aku masih melihatnya dari belakang. Hampir saja Bapak tua itu diserempet si CRV, dengan membuka kaca si pengemudi berkata dengan kasar,
“Bego lo buta!” dan pengemudi itu langsung pergi.
 Bapak tua itu tidak menghiraukannya, lalu ia langsung beranjak pergi. Tiba-tiba kakiku tersentak untuk mengikuti Bapak tua itu. Mulai dari situ aku sedikit-sedikit memandunya dari belakang untuk sedikit demi sedikit minggir.
“ Awas pak, ke kiri dikit, ada mobil di belakang!” pintaku.
“Makasih de.” jawabnya ramah.
Tak lama kemudian Ia mengajak ngobrol. Ia memperkenalkan dirinya sambil melangkah tanpa menyebutkan siapa namanya.
Beliau nge-kost di daerah Kebon Baru, hijrah sendirian dari Bekasi Timur. Ia ditinggal pergi istrinya. Entah ada dimana sekarang. Sungguh ironis nasibnya. Akupun tak berani bertanya mengenai kelanjutan ceritanya itu. Dalam perjalanan aku mendengarkan ia bercerita.
Awalnya Ia berprofesi jadi tukang pijit di Bekasi Timur. Lalu, karena lama-kelamaan mulai sepi pengunjung, otomatis pendapatannya berkurang, Ia memutuskan untuk hijrah. Di sini Ia tinggal sendiri. Ia masih dengan profesi lamanya, yaitu tukang pijit tuna netra, Pagi sampai siang hari kadang keliling mencari pelanggan, kadang di rumah menunggu pelanggan. Sore Ia masih bekerja untuk menjual kerupuk ikan keliling. Sambil mendengar ceritanya aku pun berfikir dan bertanya-tanya, Bagaimana bisa Ia sampai ke sini? Apalagi dengan pekerjaanya yang keliling-keliling, memang hafal jalanan? Kalo kesasar gimana? Belum tentu kan Ia mendapatkan upah yang pantas? Bisa saja orang menipu dia.
Sesekali aku terdiam. Lalu Bapak tua itu berkata,
“Sampai sini aja de, rumah saya jauh!”, katanya dengan santun.
“loh, nggak apa ko pak, sampai rumah aja, nanggung!” kata ku dengan perasaan khawatir.
Ketika itu senja mulai datang. tak tega melihatnya.
Dengan mimik muka binggung ia bertanya, “Nanti ade pulangnya gimana?”
“Gampang ko. Tenang aja pak!” jawabku semangat.
Yang hebatnya Ia tahu dimana Ia harus berbelok dan kapan Ia harus menyebrang. Ingin sekali bertanya, tapi . . . . . tak enak hati.

Sesekali di jalan ada orang-orang yang memperhatikanku dengan muka bertanya, melihatku dengan bapak tua itu. Tapi . . . . . menurutku muka tanyanya mereka seperti ingin berkata “ih!”. Dan suatu ketika di jalan kami lewati sekumpulan satpam yang lagi duduk-duduk  di warung roko, dan salah satu satpam bertanya dengan nada yang menurutku . . . . . !
“Anaknya ya Pak? Kok kontras banget penampilannya sama Bapaknya yang buta!” ujarnya sambil tersenyum sinis.
Dalam hati aku langsung berkata “WHAT THE . . . !“, lalu aku langsung berkata dengan ketus “Kalo iya emang kenapa? Bukan urusan lo!”
Bapak tua itu tidak meladeni, hanya tersenyum.
Sembari melanjutkan aksi dagangnya, Bapak tua itu berteriak, “Kerupuk... Kerupuk... Kerupuk ikan”. Aku kembali berpikir, apa Ia kalo jualan gitu nggak rugi? kalo pembelinya jujur sih syukur, kalo nggak? Ditipu? rugi dong? Ya kan?
Tak lama kemudian Bapak tua itu bilang padaku, “De, rumah saya sudah dekat tuh, ada disebrang jalan sana, ayo nyebrang!” dengan nada mengajak.
Aku? Kembali terheran-heran sambil berkali-kali memperhatikan mata Bapak tua itu. Dia  akting apa bukan sih. Pikiran tolol. Aku pun menjawab, “Mari Pak!”

Memasuki gang sempit dan Bapak tua itu disapa oleh orang-orang disekitar gang tersebut.
“Pulang Pak?”.
“Ati-ati Pak”.
“Mampir dulu ayo Pak!”.
Lalu si Bapak menjawab sapaan dengan ramah sekali.
Wah, ternyata Bapak tua ini banyak temannya. Dan yang bikin aku berkata “HAH!” lagi, dia tau belokan dan berhenti persis di depan gerbang kost-kostan rumahnya.
Lalu Ia pamit masuk dan berterima kasih kepadaku, “Makasih de, udah dianter pulang, jadi ngerepotin!”, katanya dengan polos.
“Oh gak apa pak, kan sambil jalan-jalan sore!” ujarku ramah.
“Ini de, (sambil menyerahkan kerupuk) ada kerupuk buat ade, nggak seberapa, dibawa pulang ya!” tawarnya padaku.
“Nggak usah repot-repot pak, makasih!” Kataku menolak dengan santun.
“Sekali lagi makasih ya de, Oiya ini ada kartu nama saya, kapan-kapan main kesini ya de!” sambil mengambil dari saku bajunya.
“Oh iya, makasi ya pak, saya pamit, assalamualaikum” kataku.
“waalaikumsalam” balasnya.

Aku berjalan pulang lalu memandangi kartu nama tersebut.
PANTI PIJAT “FAMILI SEHAT”
Tenaga : Pria dan Wanita – Tuna Netra dan berijazah.
Menerima Panggilan / Di tempat.
TASWID
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Sekilas itu isi kartu namanya.

Luar biasa semangatnya. 
Dari kekurangannya yang tak dimiliki semua orang dapat memotivasinya untuk bertahan hidup.

Tugas          : Cerita Pendek
Mata Kuliah : Sinematografi
Dosen         : Tommy Broto

Komentar