Cerita Nyata - "Masa Kecilku, Traumaku"
Cerita bermulai ketika
aku berumur 7 tahun, aku pindah dari Pemalang, Jawa Tengah untuk ikut Ayah-Ibuku
pindah ke Maluku, Ambon. Awalnya aku menetap di Jakarta. Karena pekerjaan Ayah-Ibuku
adalah seorang Polisi, maka tempat tinggal kamipun berpindah-pindah. Kota Ambon
adalah kota kedua yang ku singgahi. Saat itu aku masih terlalu kecil, belum
mengerti apa-apa yang terjadi. Aku menginjak kota Ambon dengan rasa binggung
bercampur takut. Tepat pada tahun 1999 kota Ambon sedang berlangsung perang.
Saat itu terjadi perang antar agama islam dengan agama Kristen. Mereka saling
membunuh tanpa pikir panjang saat mengetahui berlalinan agama. Saling tembak,
tusuk, hingga aku melihat dengan mata kepala ku sendiri saat pertama kali aku
menginjak kota Ambon ditepi pantai terapung sebuah benda. Ooh tidak! Sungguh
batinku tak kuat melihat apa yang belum pantas aku lihat untuk anak kecil
seusiaku yang terlalu dini untuk melihat sebuah kepala yang masih berlumuran
darah dengan mata melotot dan bibir yang pucat terapung di atas air laut yang
airnya sedikit kemerah-merahan menuju ke arahku. Sontak aku terkejut dan
langsung menanggis sambil berlari ke arah ayahku yang langsung menggedongku.
Di Ambon juga memiliki
peraturan. Setiap agama baik Islam maupun Kristen memiliki masing-masing
wilayah. Jika melewati batas wilayah atau menyelinap masuk ke wilayah agama
lain, jangan harap pulang dengan selamat. Keluargaku tinggal di sebuah komplek
dinas yang masuk wilayah islam yang berbatasan dengan perkampungan. Aku
mempunyai tetangga yang bertempat tinggal di belakang rumah, mereka memiliki
anak kembar sepantaran umurnya denganku. Sebenarnya agama mereka adalah
Kristen, tapi karena keadaanlah mereka menyamar menjadi warga yang menganut
agama Islam.
Ketika hari kedua di
sana, Ayahku sempat binggung ingin memasukan aku ke sekolah mana yang aman,
hingga dia meminta tolong kepada bawahannya untuk mencarikan aku SD, namun
mirisnya semua SD Islam di Kota Ambon itu sudah lenyap, begitupun dengan SD
Negeri. Dengan sangat terpaksa dan keadaan yang mendesak aku bersekolah di SD
Kristen dan menyamarkan identitas agamaku menjadi Kristen hanya untuk
bersekolah. Aku melanjutkan di SD Kristen tersebut bersamaan dengan tetanggaku
yang kembar itu. Dan alasan lain Ayahku mau memasukan aku ke SD itu salah satunya
adalah lokasinya tepat berseberangan dengan kantor ayahku.
Pada suatu malam
ketika aku ingin pulang bersama ayahku dari kantornya, tiba-tiba ada seorang
teman ayahku yang beragama Kristen ingin menginap di rumah karena suatu
kepentingan pekerjaan dengan ayahku. Kami pulang dengan kendaraan mobil yang
dikendarai oleh supir ayahku, lalu di bangku belakang adalah teman ayahku, aku,
dan ayahku. Ketika kami diperjalanan menuju rumah, tiba-tiba kami dicegat oleh
sekelompok orang, dengan nada membentak dan menodongkan senapan laras panjang
kearah pak supir. Mereka memerintahkan kami untuk mengeluarkan kartu identitas.
Jantungku rasanya ingin berhenti berdetak saat itu, aku menangis terisak-isak
karena takut, perasaanku tidak enak karena yang aku tahu teman ayahku ini
beragama Kristen. Ketika beliau mengeluarkan kartu identitasnya dan kami
langsung dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan. Aku langsung berhenti
menanggis dan kebinggungan karena tidak jadi di tembaki, lalu ternyata teman
ayahku itu sudah prepare untuk membuat kartu identitas dengan dua versi agama.
Kami sempat dibentak-bentak karena peraturannya untuk warga yang beragama Islam
yaitu harus tiba di rumah sebelum magrib. Jadi selamatlah kami untuk hari itu.
Hari ketiga aku
bersekolah di SD Kristen itu, saat sedang jam pelajaran tiba-tiba ada banyak
orang tua murid yang berdatangan untuk menjemput anaknya masing-masing, padahal
jam pelajaran belum usai. Aku dan temanku linglung, kebinggungan, dan
bertanya-tanya apa yang telah terjadi di luar sana. Guruku juga tidak
memberikan suatu informasi untuk kami dan melepaskan muka tenang seperti tidak
terjadi apa-apa di luar sana. Semua murid yang sudah dijemput dipersilahkan
untuk pulang. Sedikit demi sedikit teman-temanku berkurang karena orang tua
mereka sudah menjemput. Tapi, kami bertiga, aku dan temanku yang kembar itu
tiba-tiba menanggis karena kelas semakin lama semakin sepi dan hanya kami yang
belum juga dijemput. Dengan modal nekat kamipun memaksakan keluar dari kelas
dan tidak lama kemudian kamipun dijemput, aku dijemput oleh anak buah ayahku,
dan sikembar oleh ayahnya. Dengan posisi anak kecil digendong yang istilah
formalnya diamankan aku dikelilingi banyak polisi untuk dievakuasi. Kemana?
Kekantor ayaku yang tepat berada di sebrang SD-ku itu. Dan apa yang terjadi
setelah aku dievakuasi?? Dorrdooorddoooorr. Suara tembakan untuk keseratus
kalinya aku dengar. Dan itu untuk kesekian kalinya aku melihat potongan kaki,
tangan, dan kepala ada dimana-mana. Perang mulai mereda ketika malam hari dan
aku diungsikan pulang bersama dengan ayahku.
Semenjak hari ketiga
aku bersekolah, hari keesokan dan seterusnya aku tidak pernah datang untuk
bersekolah lagi. Ayahku khawatir, apalagi aku sebagai seorang bocah ingusan
yang sudah mendapat tekanan berat dari lingkungan dengan apa yang aku lihat
dengan mata kepalaku sendiri mayat bergeletakan dimana-mana dan melihat orang
mati ditembak secara live. Dan perang semakin memuncak setiap harinya. Aku
hanya bisa berlindung dibalik tembok rumah dari manusia-manuisa brutal di luar
sana.
Seminggu kemudian
tiba-tiba banyak polisi yang berdiri di depan rumahku, masuk ke semak-semak
yang menurutku sangat cantik, rerumputan yang diatur sedemikian rupa, aku
berfikir bahwa itu sengaja dibuat untuk mempercantik dareah rumahku. Tetapi
ternyata alasan lain adalah sebagai tempat persembunyian untuk menyimpan
senjata laras panjang dan sebagainya. Sungguh di luar dugaan.
Ketika aku menemani
ibuku memasak mie goreng di dapur, tiba-tiba kami langsung mengambil posisi
tiarap karena mendengar suara tembakan. Karena tidak jauh dari rumahku,
tepatnya lokasi belakang rumahku itu sedang memulai perang dengan menembakan
peluru dari senapannya . Kami langsung mengambil langkah seribu menuju kamar.
Aku dengar dari warga
sekitar kalau setelah perang, kadang-kadang ada manusia yang dibakar lawannya,
lalu bagian belakang rumah saya itu dikhususkan sebagai tempat menguburkan
mayat yang telah dibakar, lebih tepatnya di bawah pohon pisang. Dan tetanggaku
yang memiliki anak kembar itu juga memiliki lahan khusus menguburkan mayat,
tetapi hanya mayat yang ditembak saja. Mereka memulai menguburkan jenazah pada
tengah malam.
Setelah hari itu
perang kian memanas. Ayahku menyuruh aku dan ibuku untuk ikut dengan ibu-ibu polisi lainnya mengungsi ke
dataran lebih tinggi tengah malam nanti, yang dijemput oleh supir ayahku, di
dataran tingggi adalah lokasi paling aman saat itu, tak lupa aku membawa ulil,
dia adalah burung kakak tua pemberian anak buah ayahku, anak buah ayahku sengaja
memberikannya kepadaku supaya aku tidak kesepian. Ulil adalah burung kakak tua
yang cerdas, burung yang ajaib, tidak mau di rantai, apalagi tinggal di kandang.
Saat supir ayahku
tiba, aku diingatkan untuk lekas membereskan barang-barangku, terutama barang
yang wajib dibawa adalah bantal yang banyak. Untuk apa? Bantal tersebut
diletakkan di segala sisi, kiri, kanan, depan, dan belakang untuk
mengantisipasi jika terkena tembakan, peluru akan masuk menembus bantal
terlebih dahulu. Aku duduk di posisi tengah sambil memegang ulil. Kami memilih
tengah malam karena kami fikir aman untuk mengungsi ke dataran tinggi, tapi ternyata kami salah besar, saat kami di perjalanan
kami malah dikejar-kejar dengan orang-orang yang menembaki mobil kami, semua
penumpang termasuk aku hanya bisa menanggis, lalu tanggisan dan jeritan semakin
kencang saat supirku itu terkena tembakan di lengannya dan ditambah kaca mobil
bagian kanan depan pecah. Ibuku menyuruhku untuk tidur tanpa alasan, mungkin
beliau cemas. Tapi itu menurutku itu adalah permintaan yang tidak masuk akal, karena
laju mobil yang tak terkontrol oleh supir dan ibu-ibu yang lain mulai histeris.
Kami berangkat sekitar pukul 12 malam hingga sampai di dataran tinggi sekitar
pukul 6 pagi, lokasinya sangat jauh dari tempat tinggalku sebelumnya, dan diperjalanan
kami tersesat karena dikepung dan mobil kami ditembaki, terpaksa melintas di jalan
yang kami tidak tahu arahnya untuk menghindari amukan dari massa yang membawa
senapan laras panjang.
Ketika kami tiba di
tempat tinggal baru yang berupa bangunan yang menyerupai wisma, lagi-lagi aku
melihat seharusnya belum pantas aku lihat, seorang laki-laki yang membawa
senapan laras panjang yang dikalungi dibadannya dan menenteng tombak di tangan
kirinya yang lewat dihadapanku dengan membawa sebuah kepala ditangan kanannya
yang masih berdarah-darah dengan mimik muka yang sepertinya senang dan puas
karena telah berhasil memotong kepala lawannya. Dan aku lagi-lagi histeris
nanggis memeluk ibuku yang juga merinding ketakutan.
Aku dan Ibuku berpisah
dengan ayahku karena mengungsi di wisma dataran tinggi kurang lebih selama 3
bulan tidak bertemu ayahku, setiap hari aku cemas dengan keadaan ayahku, karena
komunikasi sangat sulit saat itu. Bukan berarti kami pindah kedataran tinggi
adalah tempat yang sangat aman, hanya sedikit aman, suara tembakan tetap ada,
perang juga tetap berlangsung, tapi tidak terlalu full perang.
Suatu hari aku sedang
bermain dengan ulil si burung kakak tuaku, tiba-tiba dia terbang ke luar wisma,
aku langsung menanggis dan memanggil ibuku untuk minta dicarikan kemana ulil
pergi. Lalu ibuku meminta tolong kepada seorang bapak-bapak untuk keluar rumah
mencari ulil, karena tidak mungkinmaku/ibuku yang ke luar rumah,karena kami
takut di tembak ataupun disandera. Tidak lama kemudian bapak-bapak itu menemukan
ulil di jalanan sedang teriak-teriak layaknya kakak tua memanggil temannya,
padahal di luar sedang terjadi tembak menembak. Ibuku memberikan uang Rp.20.000
kepada bapak-bapak itu sebagai imbalan. Uang Rp.20.000 pada saat itu sangatlah
berharga.
Setelah bulan ke-enam,
ayahku menyuruh kami untuk segera angkat kaki dari kota Ambon karena situasi yang
sudah tidak bisa dikompromi lagi. Karena sudah tidak lagi transportasi bebas
untuk keluar masuk dari Kota Ambon, lalu aku dan ibuku ikut menumpang di kapal Hercules.
Kami pergi bersama rombongan ibu-ibu lainnya, dan juga bersama dengan tetanggaku
yang kembar, mereka mengungsi ke Bali. Ibuku memilih untuk mengungsi ke Malang
karena di sana merupakan kampung halaman ayah dan ibuku serta ada kakak-kakakku
tinggal di sana bersama saudara-saudaraku. Ibuku, Aku dan juga Ulil naik
pesawat Hercules, kami harus ikut transit untuk menurunkan penumpang lainnya,
ke Makasar, Bali, lalu Surabaya. Kami berangkat dari kota Ambon sekitar pukul
11 pagi dan tiba di kota Surabaya pukul 3 sore.
Ibuku hanya
mengantarku hingga aku kembali ke rumah dengan selamat, lalu beliau kembali
naik Hercules ke kota Ambon untuk menjalankan tugasnya kembali. Dengan berat
hati aku melepas kepergian ibuku yang entah akan pulang kapan hingga perang itu
akan usai beliau baru akan bisa kembali kepelukanku bersama ayahku.
Saat aku tinggal di Malang
aku mengalami trauma yang sangat dalam akibat perang. Aku tidak bisa meneruskan
sekolah karena setiap hari aku trauma, tidak bisa keluar rumah karena takut melihat
banyak orang karena aku berfikir mereka akan menembakku, aku tidak bisa melihat
warna merah karena aku selalu beranggapan bahwa itu adalah darah korban
pembunuhan, dan aku sensitive dengan suara-suara yang mengangetkan, walau hanya
suara tembakan berasal dari televisi, aku langsung mengumpat di bawah kolong
meja atau lari ketakutan dan menanggis mencari kakakku, mas didit yang 9 tahun
lebih tua dari aku. Apalagi ketika aku bermimipi yang tidak bisa ditebak jalan
ceritanya, aku selalu digentayangi mimpi buruk. Masa trauma saat aku pindah ke
Malang sungguh sangat menyiksaku.
Aku juga baru bisa
meneruskan sekolahku yang sangat terlambat beberapa bulan untuk menunggu
semester berikutnya. Setelah trauma mereda lalu aku meneruskan sekolah seperti
anak-anak normal lainnya, walau bayang-bayang perang itu masi ada.
Setelah tiga tahun
kemudian Ayah Ibuku kembali dengan selamat dari tugasnya di Ambon. Dan saat
kelas 6 SD semester awal kami sekeluarga kembali pindah ke Jakarta. Dan
meneruskan hidup normal.
Cerita Nyata - "Masa Kecilku, Traumaku"
Cerita Nyata - "Masa Kecilku, Traumaku"
subhanalloh....cerita yang amat menakutkan,saya membaca sampai merinding....
BalasHapus